Subscribe to RSS feeds

Tuesday, March 5, 2013

Hajr, Pengertian dan Penerapannya


Definisi Hajr

Hajr adalah antonim dari Washl (menyambung) (lihat Lisaanul ‘arab V/250), Tahaajur (saling melakukkan hajr) maknanya adalah Taqaathu’ , yaitu saling memutuskan hubungan (Mukhtaar ash-Shihaah hal 288)
Imam Ibnu Hajar berkata “ Hajr adalah seseoarang tidak berbicara dengan yang lain tatkala bertemu” (Fathul Baari X/492)
Imam al ‘Aini berkata :”Hajr adalah tidak berbicara denagn saudaranya sesama mukmin tatkala bertemu, dan masing masing dari keduanya berpaling dari yang lain tatkala   berkumpul” (Umdatul Qaari XXII/141)



Hukum asal Hajr adalah dosa besar


Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata “ Hukum asal meng-hajr sesama muslim adalah haram, bahkan termasuk dosa besar jika lebih dari tiga hari” (Majmuu Fatawa Ibnu Utsaimin III/16, soal no 4915)
Diantara dalil dalil yang menunjukkan bahwa hukum asal dari hajr adalah dosa besar adalah sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :

“ Barangsiapa yang meng-hajr saudaranya selama setahun maka ia seperti menumpahkan darah saudaranya tersebut” (HR. Abu Dawud IV/279 dishahihkan oleh syaikh Albani dalam ash Shahihah II/599,no.928)
“Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr saudaranya lebih dari tiga hari.1 Barangsiapa yang meng-hajr lebih dari tiga hari lalu meninggal maka ia masuk neraka (HR.Abu Dawud IV/279, no.4914, dan dishahihkan oleh Syaikh Albani)

Pantaslah kiranya sikap meng-hajr seorang muslim lebih dari tiga hari termasuk dosa besar, mengingat hajr sangat bertentangan dengan prinsip islam yang menyeru kepada persatuan dan persaudaraan.
Islam adalah nasehat, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam :
“Agama ini adalah nasehat’ ( HR Muslim I/74, no.35) sedangkan tidak diragukan lagi bahwa hajr menafikan nasehat sebab dua orang yang saling meng-hajr tidak mungkin bisa saling menasehati (lihat Al-Hajr fil Kitaab was Sunnah hal 142) Hajr juga menghilangkan hak hak seorang muslim sehingga pelakunya tidak memberi salam kepada selainnya, juga sebaliknya. Jika salah satu dari dua orang yang saling menghajr menderita sakit, maka yang lain tidak mengunjunginya. Masih banyak lagi hak hak lainnya yang menjadi terabaikan.

Penerapan hajr menurut syariat islam

Kendati demikian, terkadang boleh, disyari’atkan, atau bahkan siwajibkan bagi seorang muslim untuk keluar dari hukum asal ini, yaitu melakukan hajr dan boikot kepada muslim lainnya, apabila kondisi memang menuntut demikian. Sebagaimana halnya Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pernah meng-hajr Ka’b bin Malik dan kedua sahabatnya karena tidak ikut dalam perang Tabuk tanpa alasan yang syar’i. Begitu juga dengan sikap para Salaf yang meng-hajr ahli bid’ah dan men-tahdzir (memperingatkan ummat dari) mereka agar ummat tidak terkena dampak buruk mereka (lihat atsar salaf dalam hal ini dalam risalah imam as Suyuthi yang berjudul Hijraan Ahlil Bid’ah awiz Zajr bil Hajr)

Namun, perlu diperhatikan, mengingat penerapan hajr adalah keluar dari hukum asalnya -yaitu terlarang- maka seseorang tidak boleh keluar dengan hukum asal kecuali disertai dengan dalil dan argumen yang kuat. Sebab, kaidah syari’at menyatakan bahwa kita tidak boleh keluar dari hukum asal melainkan dibarengi oleh dalil yang kuat. Terlebih hukum asal tersebut dibangun diatas dalil yang sangat banyak baik dalil dalil yang menunjukkan hukum asal wajibnya persaudaraan dan persatuan maupun dalil dalil yang menunjukan hukum asal haramnya hajr.

Apabila seseorang keluar dari hukum asal tersebut dengan argumen yang tidak kuat atau bahkan masih berupa prasangka semata, berarti ia telah melawan sekian banyak dalil yang mendukung hukum asal tersebut di atas.

Yang sangat menyedihkan, di antara penuntut ilmu di sekitar kita, banyak sekali terjadi praktek hajr yang tidak dibangun di atas dalil yang jelas. Bahkan banyak penerapan hajr yang hanya dibangun di atas prasangka belaka, atau diterapkan pada perkara perkara yang sebenarnya tidak boleh ada pengingkaran apalagi sampai tahapan tahdzir dan hajr. Seperti perkara perkara yang merupakan masalah ijtihadiyah yang masih diperselisihkan para ulama.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian orang yang menerapkan hajr hanya karena masalah pribadi, lalu dikait kaitkan dengan manhaj. Masalah masalah yang menyangkut keduniaan digembor gemborkan dengan label manhaj. Mereka ini menerapkan hajr karena mengikuti hawa nafsunya. Selanjutnya syaithan menghiasi amalan mereka tersebut sehingga mereka menyangka bahwa perbuatan mereka adalah ibadah.
Sebagian lagi menerapkan hajr tanpa kaidah dan batasan batasan. Tanpa menimbang maslahat dan mudharat, sehingga mereka terjatuh dalam kemaksiatan dan menyelisihi hukum asal.

Penerapan hajr secara membabi buta, tanpa menimbang mudharat dan maslahat merupakan suatu kemaksiatan, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
“……atau jika tidak dapat dirajihkan antarakerusakan dan maslahat maka yang lebih dekat (kepada kebenaran) adalah dilarangnya penerapan hajr, mengingat keumuman sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam “Tidak halal bagi seorang muslim untuk meng-hajr (memboikot) saudaranya lebih dari tiga hari” (HR. Al Bukhari V/2302, no.5879)

Terlebih lagi jika penerpan hajr tersebut jelas jelas menimbulkan kerusakan, fitnah, terhambatnya dakwah, dan lainnya, maka tentunya lebih haram lagi.
Maka, benarlah penilaian Syaikhul islam Ibnu Taimiyyah tentang kebanyakan praktek hajr yang tidak sesuai dengan syari’at, sementara mayoritas pelakunya mnenyangka bahwa mereka telah berbuat ketaatan kepada Allah ta’ala dengan praktek hajrtersebut tetapi hakekatnya karena mengikuti hawa nafsu. Beliau berkata “ Barangsiapa yang menerapkan hajr karena hawa nafsunya atau menerapkan hajr yang tidak diperintahkan untuk dilakukan maka dia telah keluar dari hajr yang syar’i. Betapa banyak manusia melakukan apa yang diinginkan nafsunya, tetapi mereka mengira bahwa mereka melakukannya karena Allah ta’ala.” (Majmuu’ Fataawa syaikh Ibnu ‘Utsaimin (III/17, soal no. 385)

Praktek hajr yang tidak sesuai syari’at efeknya sangat berbahaya bagi pelakunya karena hukum asal hajr adalah dosa besar. Oleh karena itu, barangsiapa yang ingin menerapkan hajr maka hendaknya ia benar benar diatas bayyinah bahwa ia memang berhak untuk melakukan hajr.
Allahu ta’ala a’lam
————————————————————–
1.Imam An Nawawi berkata dalam al Minhaaj (XVI/117), “ Para ulama menyatakan bahwa hadits tersebut menunjukkan diharamkannya hajr lebih dari tiga hari diantara kaum muslimin juga menunjukkan bolehnya hajr selama tiga hari…..Mereka menyatakan bahwasanya di maafkannya hajr selama tiga hari karena seorang manusia diciptakan dengan tabiat mudah marah, akhlak yang buruk dan yang semisalnya. Maka dimaafkan menghajr selama tiga hari agar sifat tersebut hilang
disalin dari Lerai Pertikaian Sudahi Permusuhan hal 11-16 oleh Abu abdil Muhsin Firanda Ibnu ‘Abidin, penerbit Pustaka Cahaya Islam, bogor cetakan kedua agustus 2006 dengan sedikit penyesuaian

Sumber

Artikel yang berkaitan



0 comments:

Post a Comment

Berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan


Shoutbox