Bismillah
kini telah hadir Artikel 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah yang ditulis oleh Ustadz Abdullah Zaen, Lc. Hafidzahullah dalam versi Pdf.
Mudah-mudahan bisa bermanfaat untuk kaum muslimin semua.
(Klik gambar di atas untuk mengunduh)
Ebook ini Gratis dan boleh disebarluaskan
Kami meminta maaf apabila terjadi kesalahan dalam penyusunan ebook ini,
kritik dan saran bisa dituliskan di kotak komentar postingan ini atau ke email fauzan.ammar@gmail.com.
Terimakasih
Download juga kajian audio pembahasan kitab ini :
kajian ini disampaikan oleh Ustadz Muslim Atsari
kajian ini disampaikan oleh Ustadz Muslim Atsari
__________________________________________________
PENDAHULUAN
Oleh: Abu Abdirrahman Abdullah Zaen
Segala puji bagi Allah ta'ala, shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Rasul-Nya shallallahu’alaihiwasallam.
Di suatu rumah: "Pokoknya mulai hari ini bapak dan ibu tidak boleh lagi pergi ke dukun dan tidak boleh lagi sedekah bumi, tidak boleh ikut maulidan dan tahlilan, tidak boleh nonton tv, bapak harus memendekkan celana panjang di atas mata kaki, dan ibu harus memakai cadar!!", demikian 'instruksi' seorang pemuda yang baru 'ngaji' kepada bapak dan ibunya. "Memang kenapa?!" tanya orang tuanya dengan nada tinggi. "Karena itu syirik, bid'ah dan maksiat!" jawab si anak berargumentasi. "Kamu itu anak kemarin sore, tahu apa?! Tidak usah macam-macam, kalau tidak mau tinggal di rumah ini keluar saja!!" si bapak dan ibu menutup perdebatan dalam rumah kecil itu.
Salah seorang sahabat pemuda tadi yang telah lebih lama ngaji dan telah lebih banyak makan asam garam, menasehati temannya yang tengah bersemangat empat lima dalam menasehati orang tuanya, "Bertahaplah akhi dalam mengingkari kemungkaran-kemungkaran yang ada di rumah antum…[1] Antum harus bersikap lebih hikmah…". "Lho, bukankah kita harus menyampaikan yang haq meskipun itu pahit?!" jawab si pemuda itu dengan penuh tanda tanya.
Di tempat lain, seorang 'juru dakwah' namun minim ilmu, kerap ikut larut dalam ritual-ritual syirik dan acara-acara bid'ah, sambil sesekali bermusik ria dengan dalih pendekatan masyarakat sebelum mendakwahi mereka. Ketika ada seorang yang komplain padanya, "Akhi, itu khan acara-acara syirik, bid'ah dan maksiat? Kenapa antum ikut hanyut di dalamnya?". "Kita harus bersikap hikmah dalam berdakwah, kalau kita tidak mengikuti acara-acara itu terlebih dahulu, masyarakat akan lari dan menjauhi kita! Bukankah Islam itu rohmatan lil 'alamien?" jawab si 'juru dakwah' tadi dengan ringan.
Mungkin dua kisah di atas bisa mewakili dua kelompok yang amat bertolak belakang dalam memahami kata hikmah saat berdakwah.
3 Golongan Manusia dalam Menyikapi Istilah Hikmah:
(1) Golongan yang tidak mempedulikan sikap hikmah dalam berdakwah, sehingga terkesan agak ngawur dalam berdakwah.
(2) Golongan yang terlalu longgar dalam memahami istilah hikmah, sehingga kerap 'mengorbankan' beberapa syari'at Islam dengan alasan hikmah dalam berdakwah, sebagaimana telah kita singgung sedikit di atas.
(3) Golongan yang tengah, yaitu golongan yang memahami kata hikmah dengan benar dan senantiasa menerapkan sikap hikmah dalam dakwahnya; sehingga dia selalu mempertimbangkan segala gerak-gerik serta cara dia berdakwah dengan timbangan ini.
Kalau begitu, lantas apa definisi yang benar dari kata hikmah?
Definisi Hikmah:
Kata hikmah di dalam al-Qur'an ada dua macam[2]:
(1) Disebutkan berdampingan dengan kata al-Qur'an.
(2) Tidak berdampingan dengan kata al-Qur'an, namun disebutkan sendirian.
Jika bergandengan dengan kata al-Qur'an maka hikmah berarti: hadits Rasul shallallahu’alaihiwasallam. Contohnya: firman Allah ta'ala,
ﭽلقد من الله على المؤمنين إذ بعث فيهم رسولاً من أنفسهم يتلو عليهم آياته ويزكيهم ويعلمهم الكتاب والحكمة وإن كانوا من قبل لفي ضلال مبين ﭼ آل عمران: ١٦٤
Artinya: "Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur'an) dan al-Hikmah (hadits). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata". QS. Ali Imran: 164.
Namun jika kata hikmah disebutkan sendirian tanpa didampingkan dengan kata al-Qur'an maka maknanya adalah: Tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai[3].
Di antara contoh penafsiran kata hikmah dengan makna kedua ini[4] adalah firman Allah ta'ala,
ﭽيؤتي الحكمة من يشاء ومن يؤت الحكمة فقد أوتي خيراً كثيراً وما يذكر إلا أولوا الألبابﭼ البقرة: ٢٦٩
Artinya: "Allah menganugerahkan hikmah kepada siapa yang dikehendaki. Dan barang siapa yang dianugerahi hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)". QS. Al-Baqarah: 269.
Perintah untuk bersikap hikmah dalam berdakwah:
Di antara dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk bersikap hikmah dalam berdakwah: firman Allah ta'ala,
ﭽادع إلى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي أحسن إن ربك هو أعلم بمن ضل عن سبيله وهو أعلم بالمهتدين ﭼ النحل: ١٢٥
Artinya: "Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan nasehat yang baik, serta bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah Yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk". QS. An-Nahl: 125.
Imam Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah menafsirkan ayat di atas: Ajaklah para manusia -baik mereka yang beragama Islam maupun mereka yang non muslim- kepada jalan Allah yang lurus dengan hikmah; yang berarti masing-masing sesuai dengan kondisi, tingkat pemahaman, perkataan dan taraf ketaatannya. Juga dengan nasehat yang baik yaitu: perintah dan larangan yang dibarengi dengan hasungan dan ancaman. Adapun jika yang didakwahi tersebut menganggap bahwa apa yang dia kerjakan atau dia yakini selama ini adalah benar, -padahal sebenarnya salah- maka debatlah mereka dengan cara yang baik berlandaskan dalil-dalil syar'i maupun akal[5].
Al-'Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah memaparkan dengan gamblang bahwa sikap hikmah ini "merupakan salah satu sikap yang kurang dimiliki oleh banyak para juru dakwah, sehingga mengakibatkan dakwah mereka kacau; dikarenakan mereka tidak kembali kepada metode dakwah Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam"[6].
Pilar-Pilar Hikmah:
Sikap hikmah dibangun di atas tiga pilar:
(1) Ilmu.
(2) Al-hilmu (bijaksana).
(3) Al-anaah (tidak tergesa-gesa)[7].
Di antara tiga pilar ini, pilar yang paling utama dan yang paling penting adalah pilar pertama yaitu ilmu. Dan ilmu yang dimaksud di sini adalah al-Qur'an dan hadits serta pemahaman generasi terbaik umat ini (baca: salaf ash-shalih)[8].
Maka seseorang tidak akan bisa bersikap hikmah dalam berdakwah, melainkan jika dia melandaskan sikap-sikapnya di atas dalil-dalil dari kitab dan sunnah serta pemahaman salaf ash-shalih. Dari sinilah terlihat jelas kekeliruan sebagian orang yang 'mengesampingkan' perintah-perintah Allah, apalagi perintah yang paling penting yaitu tauhid, atau ikut 'larut terbawa arus' adat masyarakat yang menyelisihi syari'at, semua itu dengan alasan hikmah dalam berdakwah!
14 CONTOH PRAKTEK HIKMAH DALAM BERDAKWAH*:
Berikut, penulis bawakan beberapa contoh sikap hikmah dalam berdakwah, karena dengan membawakan contoh praktek nyata dari sikap hikmah inilah, banyak orang bisa memahami teori-teori sikap hikmah yang biasa kita dengar dalam ceramah-ceramah, atau kajian-kajian Islam.
Berhubung definisi dari hikmah adalah: "Tepat dalam perkataan, perbuatan dan keyakinan, serta meletakkan sesuatu pada tempatnya yang sesuai", dan hal itu tidak akan tercapai melainkan dengan membangunnya di atas pilar-pilarnya, dan pilar yang paling utama adalah ilmu yang dilandaskan di atas al-Qur'an dan hadits dengan pemahaman generasi terbaik umat ini dan para ulama yang setia meniti jalan mereka; maka penulis akan berusaha semampunya -dengan segala keterbatasan yang ada- untuk melandaskan setiap contoh di atas dalil-dalil dari al-Qur'an dan hadits, serta menghiasinya dengan perkataan atau praktek para ulama Ahlus Sunnah zaman dulu maupun sekarang.
Semoga penulis diberi taufiq oleh Allah ta'ala untuk menyampaikan yang haq, amien.
-----
Footnote
[1] InsyaAllah akan kami jelaskan dengan lebih luas masalah bertahap dalam mengingkari kemungkaran pada contoh kesembilan dari tulisan ini.
[2] Lihat: Madarij as-Salikin karya Imam Ibn al-Qayyim (II/478).
[3] Lihat: Al-Hikmah fi ad-Da'wah ila Allah karya Sa'id bin Ali al-Qahthani (hal. 30) dan Ashnaf al-Mad'uwwin wa Kaifiyatu Da'watihim karya Prof. Dr. Hamud bin Ahmad ar-Ruhaili (hal. 33).
[4] Lihat: Tafsir ath-Thabari (V/576 ayat 269 dari surat al-Baqarah -cet Mu'assasah ar-Risalah).
[5] Lihat: Tafsir as-Sa'di (hal. 404).
[6] Kata pengantar beliau untuk kitab at-Tadarruj fi Da'wah an-Nabi shallallahu’alaihiwasallam, karya Ibrahim bin Abdullah al-Muthlaq (hal. 8).
[7] Madarij as-Salikin (II/480).
[8] Lihat: Ad-Da'wah ila Allah wa Akhlaq ad-Du'at oleh Syaikh al-'Allamah Abdul Aziz bin Baz (hal. 25-26).
* Pada asalnya makalah ini merupakan bab terakhir dari sepuluh bab dalam buku yang sedang kami susun yang berjudul "MENJELASKAN SIKAP (Sikap Yang Benar dalam Menghadapi Problema di Barisan Ikhwah Salafiyyin di Indonesia)". Namun karena penulis diminta untuk mengisi daurah pada bulan Juli 2007 dengan tema "Hikmah dalam Berdakwah" dan diminta untuk menulis makalah, maka 'terpaksa' makalah ini disebarkan terlebih dahulu sebelum bab-bab lain yang telah dipersiapkan untuk buku "Menjelaskan Sikap". Semoga kelak Allah memberikan taufiq-Nya kepada penulis untuk menyelesaikan tulisan "Menjelaskan Sikap" tersebut secara sempurna dan semoga bermanfaat, amien.
Karena ilmu dan pengalaman penulis yang amat terbatas, maka penulis berusaha sekuat tenaga agar inti tulisan ini bisa dikoreksi oleh para masyayikh Ahlus Sunnah yang insyaAllah tidak diragukan lagi keilmuan mereka. Alhamdulillah setelah tulisan ini kami ringkas ke dalam bahasa Arab, ada beberapa masyayikh yang berkenan meluangkan waktu untuk mengoreksi ringkasan tersebut. Antara lain: Syaikh Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah (Dosen Aqidah Universitas Islam Madinah) pada tanggal 4/1/1428, 5/1/1428 dan 20/1/1428 H, Syaikh Dr. Ali bin Ghazi at-Tuwaijiri hafizhahullah (Dosen Tafsir Universitas Islam Madinah) pada tanggal 4/1/1428 H, Syaikh Dr. Muhammad bin Abdul Wahab al-‘Aqil hafizhahullah (Dosen Aqidah Universitas Islam Madinah) pada tanggal 4/1/1428, 8/1/1428 dan 8/2/1428 H, Syaikh Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani hafizhahullah (Da’i di kota Madinah dan penulis buku Madarik an-Nazhar (Pandangan Tajam terhadap Politik) pada tanggal 17/1/1428 H, Syaikh Dr. Yusuf bin Muhammad ad-Dakhil hafizhahullah (Dosen Hadits Universitas Islam Madinah) pada tanggal 19/1/1428 H dan Syaikh Dr. Abu Ibrahim bin Sulthan al-'Adnani hafizhahullah (Dosen Ushul Fiqh Universitas Islam Madinah dan penulis buku al-Quthbiyyah Hiya al-Fitnah) pada tanggal 15/3/1428 H. Alhamdulillah semua syaikh di atas -selain Syaikh Abdul Malik dan Syaikh Yusuf- berkenan untuk membaca sendiri ringkasan tersebut. Adapun Syaikh Abdul Malik, maka kami yang membacakan ringkasan tersebut di hadapan beliau, sedangkan Syaikh Yusuf maka beliau menugaskan salah seorang muridnya untuk membacanya. Alhamdulillah mereka banyak memberi masukan kepada kami dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya, serta mendo’akan agar buku itu mendatangkan manfaat, amien. Jazahumullah ahsanal jaza’...
0 comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan