Islam Terbangun di Atas Nasihat
Agama ini memerintahkan pemeluknya untuk menggalakkan budaya nasihat. Nasihat akan memperbaiki kepribadian seorang yang dahulunya buruk. Nasihat pulalah yang mampu menciptakan persaudaraan yang sejati. Namun, kesemuanya itu barulah dapat terwujud apabila nasihat yang disampaikan dapat membekas dan meresap di dalam jiwa.
Allah Ta’ala memerintahkan Nabi untuk memberikan nasihat yang dapat mempengaruhi jiwa para pendengarnya,
أُولَئِكَ الَّذِينَ يَعْلَمُ اللَّهُ مَا فِي قُلُوبِهِمْ فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ وَعِظْهُمْ وَقُلْ لَهُمْ فِي أَنْفُسِهِمْ قَوْلا بَلِيغًا (٦٣)
“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka.
Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka wejangan (nasihat),
dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.”
(Q.S An Nisaa : 63)
Imam Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, maksudnya adalah dalam tujuan nasihat diketahui dan membekas di dalam jiwa mereka (Fathul Qadir 1/729; Asy Syamilah).
Nasihat yang Sukses
Sukses dalam memberikan nasihat haruslah memperhatikan beberapa kriteria berikut:
Topik yang sesuai
Nasihat haruslah disampaikan dengan memperhatikan topik yang dibutuhkan oleh para pendengar. Jangan sampai anda memberikan nasihat dengan topik yang tidak mereka butuhkan.
Sebagai permisalan, apabila anda melihat mayoritas manusia lebih memprioritaskan kehidupan dunia daripada mempersiapkan bekal untuk kehidupan akhirat, maka topik yang seharusnya disampaikan adalah menghasung mereka untuk cinta kepada akhirat dan berlaku zuhud (tidak tamak) terhadap dunia.
Namun, jika seorang menasihati mereka untuk tidak berlebih-lebihan dalam beribadah, sementara mereka belum mampu untuk melaksanakan berbagai ajaran agama yang sifatnya wajib, maka topik nasihat yang disampaikan pada saat itu tidaklah tepat, karena unsur hikmah dalam memilih topik kurang diperhatikan.
Bahasa yang fasih dan runut
Kefasihan sangat dituntut dalam nasihat yang hendak disampaikan. Shahabat pernah mengatakan,
وَعَظَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا بَعْدَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ ….
“Selepas shalat Shubuh, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memberikan nasihat yang sangat menyentuh, hati kami bergetar dan air mata pun berlinang.”
(HR. Tirmidzi: 2676. Diabsahkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashabih: 165)
Maka seorang pemberi nasehat hendaknya menyampaikan nasihat dengan lafadz yang terbaik, yang paling mampu menyentuh jiwa para pendengar, sehingga merekapun tertarik untuk mendengarnya.
Waktu dan kondisi yang tepat
Waktu yang tepat juga turut berpengaruh. Seorang pemberi nasihat hendaknya memilih momen yang tepat untuk menyampaikan nasihatnya.
Pada hadits yang lalu, dapat kita perhatikan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan wejangan kepada para sahabatnya di waktu shubuh. Pada waktu tersebut, tubuh sedang berada dalam kondisi puncak, setelah di waktu malam beristirahat. Demikian pula, pada waktu tersebut, pikiran masih jernih, belum terbebani.
Maka seorang pemberi nasihat harus mampu memperhatikan kondisi orang yang hendak dinasihati, apakah pada saat itu dia siap menerima nasihat ataukah tidak.
Jangan bertele-tele
Nasihat juga janganlah bertele-tele dan panjang sehingga membosankan. Abu Wa-il pernah mengatakan, “Ammar radhiyallahu ‘anhu pernah menyampaikan khutbah kepada kami secara ringkas namun mengena. Ketika selesai, maka kami mengatakan kepada beliau, “Alangkah baiknya jika anda memperpanjang khutbah” Maka beliau menjawab, “Sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya panjangnya shalat seorang dan pendeknya khutbah yang disampaikan olehnya merupakan tanda akan kefakihan dirinya.
Maka hendaklah kalian memperpanjang shalat dan memperpendak khutbah.”
(HR. Muslim: 869)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan tuntunan kepada umatnya untuk tidak bertele-tele dan berlama-lama dalam menyampaikan nasihat karena hal itu akan menyebabkan pendengar bosan.
Karakter Sang Pemberi Nasihat
Materi yang bagus memang turut berpengaruh terhadap suksesnya nasihat, namun sang pemberi nasihat pun harus menghiasi dirinya dengan beberapa hal berikut:
Yakin akan apa yang diucapkan
Pemberi nasihat merupakan orang yang pertama kali harus meyakini akan apa yang akan diucapkan dalam nasihatnya, dialah yang pertama kali harus terpengaruh terhadap nasihat yang hendak disampaikan.
Ammar bin Dzar rahimahullah pernah ditanya oleh anaknya, “Mengapa tatkala orang lain berbicara, tidak ada satupun yang menangis. Namun, ketika engkau berbicara, wahai ayahku, kami mendengar tangisan dimana-mana?” Maka Ammar menjawab, “Wahai anakku, nasihat yang tulus tidaklah sama dengan nasihat yang direkayasa.” (Hilyatul Auliya 5/111; Ihya Ulumuddin 4/187; Asy Syamilah).
Anda dapat memperhatikan apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nasihat kepada para shahabat. Beliau menyampaikan nasihat dengan serius, dengan suara yang tinggi sedang mata beliau memerah, seakan-akan saat itu beliau sedang mengomandoi pasukan. Ini menunjukkan keyakinan beliau akan kandungan yang terdapat dalam nasihat beliau.
Oleh karena itu, shahabat Irbadh radhiyallahu ‘anhu pun menggambarkan bahwa nasihat beliau merupakan nasihat yang menggetarkan jiwa dan mampu membuat air mata ini berlinang.
Hati yang Bebas Penyakit
Tulusnya nasihat merupakan buah dari hati yang bersih dari penyakit. Seorang yang memiliki hati yang berpenyakit, maka dapat dipastikan bahwa nasihat yang disampaikannya tidaklah mampu menghunjam dalam hati pendengarnya. Tengok kembali perkataan Ammar bin Dzar rahimahullah di atas! Apabila hati yang dipenuhi penyakit ini diiringi dengan akhak yang buruk, maka nasihat yang diucapkan pun tentu hanya dianggap sebagai angin lalu.
Teladan yang Baik
Seorang pemberi nasihat haruslah menjadi qudwah (teladan) dalam perkataan dan perbuatan, karena orang yang mendengar nasihatnya mesti akan memperhatikan gerak-geriknya. Jika ternyata orang yang senantiasa memberikan nasihat kepada mereka justru melanggar wejangan yang diberikan, maka mereka akan meremehkannya dan akan berpaling, tidak menghiraukan dirinya dan nasihatnya lagi. Betapa banyak kita menjumpai da’i-da’i yang tidak mampu mendorong dirinya untuk menjadi teladan yang baik bagi para mad’u (objek dakwah)-nya.
Semoga artikel ini bermanfaat bagi siapa saja yang membacanya. Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Gedong Kuning, Yogyakarta, 7 Rabi’uts Tsaani 1431.
Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim
0 comments:
Post a Comment
Berkomentarlah dengan kata-kata yang sopan